Senin, 24 Mei 2010

Naluri Seorang Ibu

Oleh Ranidya
Pernahkah Anda melihat, seekor induk ayam menerjang siapapun yang berusaha mendekati anak-anaknya ? Atau seekor induk kucing yang lalu menggendong anaknya berpindah tempat, ketika merasa anak-anaknya kurang aman di suatu tempat? Lalu, pernahkah Anda sendiri, seorang ibu, merasakan betapa berat hati Anda meninggalkan anak-anak Anda untuk pergi ke kantor, meninggalkan anak-anak Anda dalam pengasuhan orang lain ?
Semua itu hanya beberapa contoh bentuk insting atau naluri yang telah Allah karuniakan pada makhluk-Nya. Naluri melindungi diri, naluri mempertahankan hidup, lalu seperti contoh yang sudah saya sebutkan, naluri melindungi dan memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Dan Allah tidaklah pernah menciptakan segala sesuatu tanpa maksud dan tujuan, begitu juga dengan naluri. Lalu ketika hati kita meronta karena melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan naluri kita, apakah kita pantas mengabaikannya ?
Itulah dilema yang saya alami , seorang ibu bekerja, dengan satu anak laki-laki usia 6,5 tahun. Saya mengabaikan naluri saya, dalam kurun waktu yang sama dengan usia anak saya saat ini. Diawali ketika saya harus meninggalkannya di tangan seorang pengasuh, ketika harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan. Sedih ? Pasti. Merasa bersalah ? Sangat. Tapi saya berhasil mengabaikannya.
Prestasi luar biasa bagi saya, tapi mungkin cuma hal sepele bagi orang lain, wajar kata sebagian orang, ketika harus meninggalkan anak bekerja, karena tuntutan jaman sekarang memang begitu. Lalu saya kembali harus menelan ludah yang terasa pahit, ketika saat anak saya pertama kali bisa duduk, bisa merangkak, bisa berdiri, bisa berjalan, dan bisa bicara saya tidak menyaksikannya sendiri, ibu pengasuhlah yang menceritakan pada saya.
Dan tak terhitung berapa kali saya diam-diam menangis, ketika anak lebih nyaman bermain dengan pengasuhnya, ketika dia sakit tapi ada pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan, atau ketika saya harus menjalani tugas diluar kota.
Setiap pertentangan batin berhasil saya lewati, paling tidak sampai saat ini, namun saya merasa pertahanan saya tidak sekuat dulu. Perkiraan bahwa semakin bertambah usia anak, dia akan semakin mandiri dan mengurangi ketergantungan terhadap ibunya memang tidak salah. Anak saya tumbuh jadi anak mandiri, cukup cerdas dan dewasa diantara anak seusianya. Tapi apakah semakin dewasa ia semakin tidak membutuhkan ibunya ? Tegas saya jawab, tidak.
Tapi jenis kebutuhannya yang berbeda dan semakin berkembang. Kalau semasa bayi, dia membutuhkan ASI dari ibunya. Lalu ketika batita, dia membutuhkan tangan yang membimbing ketika berjalan, dia membutuhkan seseorang yang mengajarkan kata-kata baru, dia membutuhkan seseorang yang akan setia menjawab ketika dia bertanya, “Apa ini?” atau “Apa itu?”. Di usia pra sekolah, semakin kompleks pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan. Akankan seorang pengasuh bisa menjawab dengan tepat pertanyaan, “Darimana asal adik bayi?” atau “Kenapa langit berwarna biru?”.
Kemudian ketika memasuki usia sekolah, dia butuh seseorang yang akan menguatkan dan membuatnya merasa sekolah adalah tempat yang aman, dan ada seseorang yang menunggu diluar sepulang sekolah. Di usia SD, dia ingin ikut bermacam les seperti teman-temannya, wushu, drum, robotika… dia membutuhkan seseorang yang mengantarnya, dia membutuhkan seseorang yang menemani dia mengaji, dia membutuhkan seseorang yang mengingatkan keutamaan sholat dan ibadah lain, dia membutuhkan teman yang menemaninya belajar tanpa terkantuk-kantuk. Ketika remaja, dia membutuhkan seseorang untuk menumpahkan kesedihan dan keceriaannya di sekolah.
Bahkan ketika sudah mapan, menikah dan mempunyai anak pun, seorang anak tetap membutuhkan ibunya, meski sekedar untuk meminta nasihat dan mencurahkan keluh kesahnya.
Selama ini, saya merasa sudah memenuhi kebutuhan anak saya, meski tidak optimal. Seorang ibu pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, bagaimanapun kondisinya. Tapi ketika anak saya membutuhkan banyak hal, sedangkan saya tidak bisa memenuhi kebutuhan itu (kelelahan, banyak pekerjaan, tidak ada waktu), akhirnya saya yang akan meminta pengertiannya, selalu begitu. Dan dia, laki-laki kecil itu akan selalu berusaha bisa mengerti saya, ibunya. Adilkah bila seorang anak yang seharusnya dimengerti justru dikondisikan untuk berusaha mengerti ?
Sebagai perempuan, sudah jelas kewajiban dan amanah saya yang utama, menjadi ibu dan istri. Dan amanah itu, pasti akan Allah mintai pertanggungjawaban kelak. Bagaimana kau mendidik anakmu? Bagaimana kau melayani suamimu ? Dengan bekerja, saya membebankan satu amanah lagi di pundak saya, dan pasti harus saya pertanggungjawabkan pula. Sering saya berfikir, berani-beraninya saya mengambil satu amanah lagi, sementara satu amanah utama saja belum tertunaikan dengan sempurna ? Astaghfirullah…
Rasanya sudah berkali-kali saya menyimpulkan, solusi masalah saya adalah saya harus berhenti bekerja atau mencari alternative pekerjaan lain yang bisa saya kerjakan dari rumah. Suami saya pun mendukung sepenuhnya, bahkan beliau menyatakan lebih tenang bekerja bila saya sendiri yang mengasuh anak di rumah. Tapi saya tidak pernah punya keberanian untuk mewujudkannya, terlalu banyak hal yang saya takutkan. Bagaimana kalau saya bosan, bagaimana mengkondisikan diri yang terbiasa punya uang sendiri lalu harus tergantung pada suami, bagaimana bila terjadi sesuatu dengan suami, bagaimana mencukupi kebutuhan hanya dengan satu gaji, bagaimana dengan keinginan naik haji ?
Begitulah, ketika beberapa kali keinginan berhenti bekerja menguat, yang biasanya diawali tuntutan-tuntutan anak saya, tak berapa lama keinginan itu pun memudar. Titik terang mulai terlihat beberapa minggu ini, saya semakin mantap untuk berhenti bekerja. Satu per satu pertanyaan dan ketakutan saya terjawab. Soal financial, alhamdulillah Allah memudahkan jalan rejeki kami sehingga kami punya rumah dan kendaraan yang layak, Allah telah menghajikan kami, Allah telah mencukupi semua kebutuhan material kami.
Saya berusaha tidak munafik, memang masih banyak sekali keinginan dan kebutuhan lain yang tidak akan habis kami kejar, semua orang pun pasti begitu. Setelah punya rumah pasti ingin punya rumah yang lebih besar, sudah punya mobil pasti ingin mobil yang lebih bagus, sudah berhaji pasti ingin berhaji lagi. Tapi apakah itu tujuan hidup saya ? Soal ketakutan bosan tanpa kegiatan di rumah, pasti bisa disiasati. Banyak kegiatan yang bisa saya ikuti, memperbanyak pengajian, kursus ketrampilan rumah tangga, LSM ?
Lalu bagaimana bila terjadi sesuatu dengan suami ? Masya Allah, saya sungguh malu pernah meragukan ini, bukankah semuanya telah diatur Allah ? Dan bukankah saya pun bisa tetap berusaha menghasilkan uang meskipun tinggal di rumah ? Kemudian perkataan kerabat yang pernah membuat saya kembali berpikir, bukankan kalau kamu bekerja, berarti kesempatan kamu untuk bersedekah lebih besar ? Pertanyaan itupun terjawab, bukankah sebaik-baik sedekah adalah sedekah untuk keluarga terdekat kita, anak-anak kita dan suami kita ?
Bukan berupa uang, tapi keikhlasan kita menyiapkan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Ketika saya mencurahkan kegundahan saya pada seorang sahabat, beliau hanya menjawab dengan kalimat sederhana, “hidup kita semata-mata ibadah, ketika kamu dihadapkan pada dua pilihan yang sama berat, pilihlah yang akan membuat kualitas ibadahmu menjadi lebih baik”. Subhanallah, saya yakin berhenti bekerja adalah yang terbaik bagi saya dan keluarga saya saat ini.
Dan akhirnya satu hal yang semakin memantapkan saya, bagi saya anak adalah investasi akherat saya. Dialah (dan insya Allah adik-adiknya) yang saya harapkan menerangi alam kubur saya dan suami dengan doa-doa dan amalan sholihnya. Dan inilah kesempatan saya sekali seumur hidup, tidak akan terulang, untuk mendidiknya dengan baik sehingga kelak ia akan dewasa menjadi lelaki sholih yang selalu mengingat saya dan suami dalam setiap doanya.
Setelah melalui proses istikhoroh dan membersihkan niat karena Allah semata, saya pun memutuskan berhenti bekerja. Sungguh, keputusan ini bukan keputusan ringan, tapi merupakan keputusan terberat dalam hidup saya. Dan ternyata setelah memutuskan pun, Allah masih menguji kesungguhan saya. Permohonan resign saya belum terkabul dari perusahaan tempat saya bekerja. Tapi saya yakin dan selalu berusaha berbaik sangka, ketika saya benar-benar ikhlas dan berserah pada Allah, pasti Allah akan memudahkan urusan saya. Dan bukankan ketika kita mendapatkan sesuatu melalui proses yang berat, pasti kelak kita akan lebih mensyukurinya ?

**Apa yang saya rasakan mungkin berbeda dengan apa yang dirasakan ibu-ibu lain. Banyak ibu yang bekerja tapi tetap menikmati perannya sebagai ibu maupun sebagai pekerja dan bisa menjalankan kedua amanah itu dengan sama baiknya, salut dan penghargaan saya setinggi-tingginya untuk ibu-ibu yang berdedikasi seperti ini. Ingin saya menjalani seperti itu, tapi ada daya saya merasa tidak cukup mempunyai kekuatan sebesar itu. Hidup adalah pilihan, dan ini pilihan yang saya tempuh. Selalu bersyukur, bersabar, dan menyadari konsekuensi setiap pilihan adalah kunci untuk berbahagia dengan apapun pilihan kita, insya Allah.
(Ummu Abrar)

Sumber : http://eramuslim.com/oase-iman/ranidya-naluri-seorang-ibu.htm

Jumat, 21 Mei 2010

Metodologi Riset Ilmiah Mukjizat Alquran

Oleh Dr. Abdul Hafizh Al-Haddad
Membuat penelitian dalam bidang mukjizat ilmiah membutuhkan pengalaman dan kepiawaian peneliti untuk mencapai hasil yang akurat. Pengalaman dan kepiawaian ini pada dasarnya bertumpu pada bekal yang cukup dalam bidang ilmu tafsir, serta memiliki fondasi yang kuat dalam memahami ilmu-ilmu alam. Dengan demikian, peneliti menjadi kompeten untuk menangani suatu masalah dalam bidang mukjizat ilmiah. Tetapi, apabila ia ingin menulis sebuah kajian yang bisa dipahami dalam bidang ini dan bisa diterima oleh para ilmuwan, maka ia harus melengkapi diri dengan metodologi riset, dan pada kelanjutnya menguasai dasar-dasar metodologis penulisan penelitian, baik yang bersifat umum atau khusus.
Pertama: Berbagai kaidah dan prinsip yang harus dipegang saat menafsirkan Al Qur’an Al Karim yang disebut dengan metodologi tafsir sebagai berikut:
  1. Wajib mengetahui setiap hal yang terkait dengan nash, baik dari segi tanda baca, korelasi, dan selainnya, seperti sababun-nuzul dan wajhul-qira’ah.
  2. Wajib mengetahui apakah ada nash dari Al Qur’an yang dapat dijadikan sebagai penafsir nash yang tengah kita teliti, karena ayat-ayat Al Qur’an itu saling menafsirkan satu sama lain. Penafsiran ini lebih dikedepankan daripada jenis-jenis penafsiran lainnya.
  3. Wajib meneliti apakah ada hadits yang bisa dijadikan penafsir ayat, karena Rasulullah SAW adalah orang yang paling mengetahui maksud Allah, karena kepada beliau-lah Al Qur’an diturunkan.
  4. Meneliti pendapat yang bersumber dari para sahabat karena mereka lebih mengetahui makna-makna Al Qur’an, dan karena dimungkinkan mereka mendengar informasi khusus dari Rasulullah SAW terkait ayat yang sedang dikaji.
  5. Memerhatikan makna bahasa yang berlaku pada saat turunnya Al Qur’an, bukan makna lain yang dikenal manusia sesudahnya.
  6. Memerhatikan kaidah I’rab dan kaitan-kaitannya yang menjelaskan makna yang sebenarnya dari nash Al Qur’an.
  7. Menerapkan kaidah Balaghah dan Bayan, karena ia membantu untuk mengungkapkan indikasi nash.
  8. Memerhatikan pula alur dan konteks nash, serta situasi dan kondisi yang melingkupi nash.
  9. Sebelum kita menetapkan makna nash, maka harus memastikan bahwa ada kalimat atau isyarat yang membantu untuk menetapkan makna yang kita inginkan, karena klarifikasi adalah tuntutan syari‘ah, terlebih lagi dalam penelitian mukjizat ilmiah Al Qur’an.
  10. Mengamati indikasi lafazh dan kalimat nash; apakah mengandung sesuatu yang menunjukkan makna-makna tambahan seperti batasan terhadap yang umum, pengkhususan terhadap yang mutlak, atau ada unsur majaz di dalamnya? Tujuan dari langkah ini adalah mengetahui pertimbangan prioritas untuk meletakkan nash pada tempat yang sesuai.
  11. Wajib menjadikan makna yang pertama sebagai pegangan. Karena itu, makna yang muhkam lebih kuat daripada makna tekstual; makna tekstual lebih kuat daripada makna yang disimpulkan melalui takwil ketika ada faktor takwil, tetapi harus tetap diperhatikan kriteria-kriteria takwil. Demikian pula, makna eksplisit lebih didahulukan daripada makna implisit. Bahkan di antara sesama makna implisit tersebut, sebagiannya lebih didahulukan daripada sebagian yang lain.
  12. Keharusan mengetahui kondisi terkaitnya dengan kemungkinan makna dengan nash. Pertama, terkait khusus dengan fakta syari‘ah. Kedua, terkait dengan fakta tradisi. Kita mendahulukan aspek syari‘ah di atas aspek tradisi. Dan demikian pula kita mendahulukan aspek tradisi di atas aspek bahasa, kecuali ada indikasi yang valid.
  13. Ada beberapa kalimat yang terdiri dari satu huruf dan ada yang lebih banyak, yang diistilahkan dengan huruf bermakna. Para ahli bahasa telah mengistilahkan makna-maknanya ketika kata tersebut berada dalam satu kalimat, dan itu harus dipertimbangkan.
  14. Ada beberapa kaidah ushuliyyah yang makna-maknanya juga dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir. Karena itu, kaidah-kaidah tersebut harus diperhatikan dan diterapkan dalam menafsirkan ayat dan Sunnah. Di antaranya adalah: “Yang berlaku adalah sifat umum lafazh, bukan sebab khusus.” Juga seperti kaidah, “Dugaan yang tidak bersumber dari dalil itu tidak berlaku.”
  15. Tidak menyelami nash-nash mutasyabih, dan masalah-masalah yang disebut ulama dengan istilah sam’iyyat.
  16. Menghindari isra’iliyyat, serta tidak bersandar pada nash-nash yang lemah atau tidak valid ketika diteliti.
  17. Menghindari pernyataan negatif terhadap perkataan ulama salaf meskipun telah jelas kesalahan mereka. Sebaliknya, kita wajib bersikap santun dalam menolak kesalahan itu dengan mengambil inti pelajaran bahwa barangkali ada satu aspek yang membuat pernyataan mereka itu diterima. Betapa banyak orang mencela orang lain, padahal sebenarnya aib itu ada pada dirinya sendiri karena kurang memahami.
  18. Tidak boleh terlepas dari kita keyakinan akan kebenaran janji Allah dan berita-Nya bahwa Dia akan menunjukkan kebenaran ayat-ayatnya di alam semesta, tetapi pada waktu yang telah ditetapkan-Nya. Karena itu, tidak boleh mengedepankan sesuatu yang kita dengar di atas Kalam Allah, karena apa yang kita dengar itu tidak terlepas dari kekeliruan.
  19. Apabila kita tidak menemukan kemantapan setelah melakukan langkah-langkah di atas, dan kita terpaksa untuk menakwili nash, maka kita harus berpegang pada apa digariskan ulama salaf dalam bidang ini. Di antaranya adalah memastikan kebenaran indikasi yang kita simpulkan, dan bahwa kesimpulan ini tidak boleh keluar dari batas moderat dan menyimpang dari suatu hakikat agama. Sebaliknya, kita harus mendekatkan antara berbagai kosa kata nash, begitu juga natara nash dengan nash yang lain, karena tidak ada kesenjangan antara ayat-ayat Al Qur’an selama-lamanya.
  20. Tidak menyeret ayat ke arah makna yang diinginkan peneliti, dengan berpegang pada asumsi-asumsi yang lemah dan memaksakan. Kalamullah seyogianya dihindarkan dari hal-hal semacam ini.
  21. Untuk memahami metodologi penelitian lebih dalam, silakan baca kitab Al-Itqan karya as-Suyuthi (jld. IV, hlm. 200 dst.), kitab at-Tafsir wal-Mufassirun karya Adz-Dzahabi (jld. I, hlm. 265-284), dan kitab-kitab lain di bidang Ulumul Qur’an.
Dan yang kedua adalah memahami prinsip ilmiah yang harus menjadi patokan dalam melaporkan fakta-fakta ilmiah, sebagaimana yang digariskan oleh pakar spesialis di bidang masing-masing.

Sumber : http://eramuslim.com/syariah/quran-sunnah/dr-abdul-hafizh-al-haddad-metodologi-riset-ilmiah-mukjizat-al-qur-an.htm

Kamis, 20 Mei 2010

Sesat Tidaknya Ajaran Sufi

Assalamu'alaikum wr. wb

ana pengen nanya tentang ajaran sufi, apakah ajaran ini sesat ? karena ada sebagian orang yang berpendapat bahwa ajaran ini sudah ada sejak zaman Rasulullah dan ada juga yang menyatakan kalau sufi adala bid'ah. mohon penjelasannya...
terimakasih
Tendy Apryanto

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Tendy yang dimuliakan Allah swt
Tarekat adalah sebutan untuk orang-orang sufi yang menjadikan berbagai cara/jalan/metode bagi diri mereka, seperti : Tarekat Jailaniah, Rifa’iyah, Syadziiah dan lainnya.
Pada umumnya mereka adalah tarekat-tarekat bid’ah yang tidak memiliki keterkaitan dengan syara’ akan tetapi merupakan buah karya dari para pemiliknya sendiri. Mereka menentukan berbagai doa—baik yang masyru’ maupun tidak masyru’—bagi tarekatnya dengan jumlah-jumlah tertentu, dengan gerakan-gerakan tertentu di waktu-waktu tertentu dan lainnya dengan anggapan bahwa hal itu dapat membersihkan diri mereka, menyucikan hati mereka dan mengantarkan mereka ke kedudukan wali yang paling tinggi.
Didalam tarekat-tarekat ini terdapat berbagai penyimpangan syar’iyah yang bertentangan dengan akal sehat dan fitrah yang lurus. Karena itu kebanyakan dari para penganut tarekat membuat berbagai persyaratan untuk mengenal dan memahami tarekat-tarekatnya—seperti yang mereka inginkan—dengan talaqqi langsung dari para syeikh tarekat dan mewajibkan kepada orang-orang yang bertalaqqi agar menghilangkan akal dan pemahamannya ketika bertalaqqi dari syeikhnya yang memberikan kepadanya berbagai syubhat dan kebatilan sedikit-demi sedikit serta meletakkan kaidah zhalim ini : "Jadilah kamu dihadapan guru seperti mayat dihadapan orang yang memandikannya.”
Mereka berkata,”Diantara sikap kurang beradab dan sebab-sebab pengharaman adalah menentang syeikh, bertanya kepadanya tentang dalil, seperti ada ungkapan ‘barangsiapa yang mengikuti seorang syeikh kemudian menentangnya maka orang itu telah sesat’ atau ungkapan-ungkapan lainnya yang mengandung kebatilan. Untuk itu diharuskan bagi ahli kebenaran—ahlus sunnah wal jama’ah—agar menyingkap kesalahan dan menerangkan kebatilannya bahwa ia adalah cara-cara yang menyimpang dan jalan-jalan yang jauh dari petunjuk Nabi saw dan para sahabatnya.
Al Alusiy didalam kitabnya “Ghoyah al Amaniy fii ar Rodd ‘ala an Nabhaniy” mengatakan bahwa musibah yang paling besar terhadap agama dan negara yang menimpa manusia pada masa sekarang ini adalah perlakuan bid’ah ar Rifa’iyah. Tidaklah terdapat suatu bid’ah kecuali bersumber dari mereka, berasal dari mereka. Dzikir mereka bagaikan sebuah tarian dan nyanyian, berlindung kepada selain Allah, ibadah dan amal-amal para syeikh mereka bagaikan menggenggam ular.
Cukuplah bukti yang menjelaskan kebatilan dan penyimpangan tarekat-tarekat ini yaitu anggapan bahwa tarekat ini bisa mencapai kesempurnaan kewalian yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari kedudukan nubuwah (kenabian) disisi mereka, sebagaimana perkataan orang yang mengatakan bahwa kedudukan nubuwah di barzakh sedikit diatas rasul dan berbeda dengan wali.” Dan perkataan al Busthami,”Kami menyelami samudra sementara para Nabi hanya berada di tepiannya.”
Pelampauan batas mereka yang lebih besar dari itu adalah pengakuan kebanyakan dari mereka bahwa mereka memiliki kekhususan dari Allah swt, seperti perkataan al Halaj,”Kalaulah bukan tali kekang syariat terhadap lidahku pastilah aku memberitahu kalian tentang apa ang akan terjadi besok dan juga lusa hingga hari kiamat.” Pengakuan terhadap pengetahuan ghaib seperti ini adalah kekufuran.
Dia juga menegaskan aqidah al Hulul (Tuhan mengambil tubuh manusia tertentu untuk tempat-Nya) dan al Ittihad (dirinya bersatu dengan Tuhan)….
Ringkasnya : bahwa tarekat-tarekat dan wirid-wirid yang dilantunkan orang-orang sufi adalah cara-cara yang batil, dzikir-dzikir yang dibuat-buat meski terkadang masyru’ (sesuai syariat) secara dzatnya akan tetapi tetapi dicampur-campur dengan yang lainnya, dilantunkan dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang keluar dari pokok disyariatkannya dzikir-dzikir itu.
Sedangkan cara yang benar adalah yang menghubungkannya dengan Allah dan merealisasikan kecintaan terhadap-Nya dan redho kepada-Nya, inilah tarekat nabi kita Muhammad saw, para khalifah dan sahabat-sahabatnya, para tabi’in, orang-orang setelah mereka yang mengikutinya hingga hari kiamat.
Firman Allah swt :
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُم مَّاء غَدَقًا

Artinya : “Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).” (QS. Al Jin : 16)
Ia adalah tarekat (jalan) yang satu bukan jalan-jalan lain, ia adalah jalan satu yang lurus, jalan yang satu bukan jalan-jalan yang banyak, firman Allah swt :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَ تَتَّبِعُواْ السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَن سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’am : 153)
Jalan inilah yang dilalui oleh nabi kita Muhammad saw dan para sahabatnya. Karena itu Allah swt berfirman :
فَإِنْ آمَنُواْ بِمِثْلِ مَا آمَنتُم بِهِ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Artinya : “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, Sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. dan Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al Baqoroh : 137)
Didalam riwayat Tirmidzi dari Nabi saw bersabda,”Hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khalifah rasydin yang telah mendapatkan petunjuk setelahku. Peganglah itu dan gigitlah ia dengan graham. Dan waspadalah kalian dengan perkara-perkara yang baru, sesungguhnya setiap bid’ah adalah sesat.”
Pada akhirnya perlu kiranya mengingatkan dua hal penting :
1. Tidak seyogyanya mengecam tashawuf secara mutlak. Akan tetapi di sana terdapat pula tashawuf yang benar yang berpegang dengan aturan-aturan syariat untuk mensucikan dan membersihkan jiwa. Inilah yang dilakukan oleh sebagian ulama, orang-orang zuhud pada masa-masa awal sebelum masuknya berbagai penyimpangan dan bid’ah pada diri orang-orang tashawwuf (sufi).
2. Bahwa ilmu tentang keadaan hati atau yang disebut dengan Ilmu Suluk tidaklah diambil kecuali dari orang-orang yang aqidahnya benar, istiqomah perbuatannya, mengikatkan berbagai urusannya dengan al Qur’an dan Sunnah yang shahih. Tidaklah sepatutnya melakukan penipuan dengan perbuatan sebagian para pelaku bid’ah dan kerasnya ibadah mereka, maka perkara ini sebagaimana dikatakan Sufyan—semoga Allah merahmatinya—bahwa jika seseorang melakukan perbuatan bid’ah maka sesungguhnya setan telah melemparkan kepadanya bentuk ibadah untuk menjaring mereka.” (Markaz al Fatwa, fatwa No. 13742)
Wallahu A’lam

Sumber : http://eramuslim.com/ustadz-menjawab/sesatkah-ajaran-sufi.htm

Rabu, 19 Mei 2010

Penyebab Nyeri Pada Rahang

img

Jakarta, Ketika ingin bicara atau makan, tiba-tiba rahang sulit sekali digerakkan karena ada rasa nyeri yang mengganggu. Kenapa seseorang bisa mengalami nyeri di rahang saat akan membuka mulutnya. Apa yang menyebabkan nyeri tersebut?

Kondisi ini dapat terjadi karena adanya masalah pada gigi atau kondisi sistemik lainnya. Nyeri pada rahang bisa disebabkan oleh berbagai macam masalah medis, beberapa orang mengatasinya dengan cara berkunjung ke dokter gigi atau dokter umum.

Seseorang harus segera mencari bantuan untuk mengatasi hal ini, karena bisa membuat orang menderita dan tidak leluasa melakukan kegiatan yang melibatkan mulut dan rahang.

Seperti dikutip dari Wisegeek, Rabu (19/5/2010) penyebab dari nyeri rahang dibagi menjadi dua kategori yaitu primer dan sekunder, yakni:

Nyeri rahang primer
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh suatu gangguan yang melibatkan rahang secara langsung. Rasa nyeri ini bisa dirawat oleh dokter gigi, ahli bedah maksilofasial atau dokter THT.

Nyeri rahang sekunder
Kondisi ini biasanya disebabkan oleh adanya gangguan di tempat lain, tapi rasa sakitnya hingga mencapai rahang. Untuk mengatasi kondisi ini kemungkinan membutuhkan jasa dari dokter spesialis di bidang lain.

Sedangkan penyebab spesifik dari nyeri rahang yang dirasakan saat seseorang akan membuka mulut untuk berbicara atau makan adalah:
  1. Trauma rahang, seperti rahang patah atau bruxism (kepalan tinju dari gigi).
  2. Adanya pembengkakan, tumor atau infeksi di rahang.
  3. Masalah pada mulut seperti gigi berlubang, gigi yang patah atau gigi yang tumbuh di luar jalur sehingga melukai rahang. Selain itu pemulihan dari pembedahan mulut terkadang menimbulkan efek rasa nyeri di rahang.
  4. Masalah pada tulang rahang, seperti tulang menggertak atau pertumbuhan tulang rahang yang berada di luar batas dan kadang muncul pada orang tua.
  5. Gangguan pada sendi, seperti artritis, kelainan sendi rahang (TMJ atau Temporomandibular joint) yang ditandai dengan peradangan kronis dari sendi tulang.
  6. Infeksi sinus, infeksi ini bisa menyebabkan nyeri rahang karena adanya tekanan di telinga dan rongga sinus sehingga berdampak pada rahang.
  7. Beberapa kondisi medis lain juga terkadang disertai dengan nyeri rahang seperti migrain, tetanus, keracunan strychnine atau penyakit Caffey.
Meskipun rasa nyeri ini bisa ditahan, seseorang harus tetap mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan dokter. Rasa nyeri di rahang ini akan hilang jika penyakit yang mendasarinya terobati.

Namun jika berlangsung terus menerus dapat menurunkan produktivitas dan efisiensi, seperti membuatnya sulit untuk berbicara dengan orang lain atau makan sehingga asupan energi dalam tubuhnya berkurang.


sumber : http://health.detik.com/read/2010/05/19/130631/1359938/763/penyebab-nyeri-pada-rahang?993306755

Kamis, 13 Mei 2010

Gigi Sehat dengan 9 Langkah

img

Jakarta, Orang kadang baru sadar merawat giginya setelah sakit gigi. Jangan tunggu sampai sakit gigi menyiksa, karena punya gigi sehat ternyata cukup dengan 9 langkah mudah.

Siapa bilang memiliki gigi yang kuat dan indah butuh biaya yang mahal?

Seperti dikutip dari Geniusbeauty, Kamis (13/5/2010), ada 9 langkah mudah dan tidak perlu biaya mahal untuk memiliki gigi yang kuat dan indah, yaitu:

  1. Sebaiknya tidak hanya menyikat bagian gigi saja, tapi juga mencakup lidah dan pipi. Karena banyak juga kuman-kuman yang berkumpul di daerah tersebut.
  2. Mengganti sikat gigi dalam sebulan.
  3. Mengganti pasta gigi (odol) secara teratur, karena tubuh yang sudah terbiasa dengan bahan aktif tertentu akan berhenti bereaksi dari waktu ke waktu.
  4. Membiasakan diri untuk menyikat gigi sebelum sarapan pagi dan sebelum tidur di malam hari.
  5. Melakukan kumur tenggorokan secara menyeluruh setelah makan, terutama jika mengonsumsi makanan yang manis atau asam. Dalam hal ini tak perlu harus menggunakan cairan kumur, tapi bisa juga menggunakan air.
  6. Menggunakan benang gigi untuk menghilangkan sisa-sisa makanan, dan sebaiknya tidak menggunakan tusuk gigi karena dapat melukai mukosa mulut.
  7. Mengunyah permen karet setelah makan dapat membantu menyerap racun dan menghilangkan akumulasi plak lunak. Tapi pastikan untuk tidak mengunyahnya lebih dari 15 menit.
  8. Jika diperlukan bisa berkumur dengan cairan antibakteri untuk menghilangkan bakteri secara keseluruhan.
  9. Menggunakan irrigator oral untuk membantu membersihkan ruang antara dentogingival lebih efektif. Selain itu intensitas semprotan air pada gusi dapat meningkatkan aliran darah.

Selain sembilan langkah di atas yang bisa membantu seseorang memiliki gigi kuat dan indah, ada juga hal lain yang harus dilakukan yaitu:

1. Memilih makanan yang tepat untuk gigi sehat
Gigi membutuhkan banyak kalsium yang bisa membantu membuat enamel gigi semakin kuat. Karenanya konsumsi makanan yang mengandung kalsium seperti produk susu, ikan, kacang-kacangan, bit dan bayam. Selain itu air yang digunakan untuk minum dan masak juga memiliki pengaruh tersendiri. Hal lain yang harus diperhatikan adalah melatih gigi agar kuat dengan mengonsumsi makanan padat berupa sayuran dan buah secara teratur seperti menggigit wortel dan apel.

2. Menghindari minuman yang tidak sehat
Selama ini mungkin orang beranggapan bahwa teh, kopi atau jus tidak baik untuk gigi, padahal sebenarnya minuman ini tidak merusak enamel gigi. Tapi minuman soda lah yang paling berbahaya untuk gigi. Minuman ini mengandung asam orthophosphoric yang dapat menggerogoti enamel gigi.

3. Rajin merawat gigi
Gigi yang sehat sekalipun tetap membutuhkan perawatan secara teratur dari waktu ke waktu. Hal ini berguna untuk membersihkan gigi, menghilangkan plak yang menempel dan memberikan perlindungan khusus terhadap gigi. Tapi perawatan ini tidak termasuk memutihkan gigi dengan produk hidrogen peroksida, karena bisa merusak dan melemahkan gigi.

Sumber : http://health.detik.com/read/2010/05/13/132539/1356544/766/gigi-sehat-dengan-9-langkah?993306755

Selasa, 11 Mei 2010

Bayi 6 Bulan Tahu Mana yang Baik dan Buruk


img

New York, Setiap manusia diyakini sudah memiliki sikap moral yang melekat sejak dilahirkan. Terbukti pada bayi usia enam bulan sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan buruk sebelum orangtua mengajarkannya.

Profesor Paul Bloom dari Yale University menuliskan dalam majalah New York Times bahwa sebenarnya bayi sudah mempersiapkan sikap moral sejak dilahirkan.

Temuan ini diketahui setelah peneliti meminta bayi dari segala usia untuk memilih karakter yang dilihat sebagai berperilaku buruk atau baik.

Ternyata bayi-bayi tersebut cenderung lebih memilih karakter baik. Selain itu mereka juga tidak menyukai karakter nakal atau buruk dengan cara tidak mau melihatnya dan berusaha untuk memukulnya.

Penelitian yang dilakukan oleh tim psikologi dari Infant Cognition Centre di Yale University, Connecticut ini bertentangan keyakinan yang dipromosikan oleh psikologi Sigmund Freud. Bapak psikolog itu menyatakan bayi yang baru dilahirkan belum memiliki sikap moral dan membutuhkan suatu kondisi untuk mengetahui mana yang benar atau salah.

Sementara dalam studi lain, peneliti melibatkan bayi usia 6 bulan hingga 1 tahun dan menggunakan media film animasi untuk menunjukkan karakter baik dan buruk dari tokohnya.

Hasilnya, sekitar 80 persen bayi lebih menyukai karakter baik yang suka membantu dengan cara mengukur berapa lama mereka melihat foto dari tokoh tersebut.

"Dengan menggunakan bantuan percobaan yang dirancang baik, kita bisa melihat bahwa pemikiran, pertimbangan dan perasaan moral sudah terbentuk sejak satu tahun pertama kehidupannya," ujar Prof Paul Bloom, seperti dikutip dari ParentDish, Selasa (11/5/2010).

Peter Willatts, psikologi dari Dundee University menuturkan temuan ini menunjukkan seseorang tidak bisa masuk ke dalam pikiran bayi dan meminta mereka melakukan sesuatu, tapi harus mencari tahu hal apa yang paling menarik perhatiannya. Hal ini menunjukkan bahwa bayi-bayi tersebut sebenarnya sudah bisa menentukan hal apa yang baik dan buruk dengan sendirinya.

"Kami sekarang tahu bahwa dalam enam bulan pertama, bayi belajar segala hal lebih cepat dari yang kita bayangkan. Terkadang apa yang ada dipikiran dan dipelajari bayi sulit untuk dimengerti," ungkapnya.

Sumber : http://health.detik.com/read/2010/05/11/133344/1355187/764/bayi-6-bulan-tahu-mana-yang-baik-dan-buruk?993306755

Shalat Subuh Kesiangan karena Tidak Mendengar Adzan

Assalamualaikum Wr.Wb
Saya seorang mualaf, saya mau bertanya bagaimana hukumnya orang yang tidak melaksanakan sholat Subuh bila saya bangun kesiangan dan tidak mendengar adzan subuh.
Wassalam.
yy

Jawaban

Waalaikumussalam Wr Wb
Saudara Yy yang diberkahi Allah swt
Sebelumnya saya mengucapkan selamat kepada anda dan semoga Allah swt senantiasa memberikan bimbingan dan petunjuk-Nya kepada anda dan kita semua serta menjadikan kita sebagai orang-orang yang menjalankan agama-Nya dengan baik.
Allah swt telah menjadikan agama pilihannya ini mudah untuk dijalankan dan sesuai dengan kesanggupan setiap hamba-Nya.
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Artinya : “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj : 78)
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Artinya : “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh : 185)
Diantara beberapa kemudahan yang diberikan Allah swt kepada hamba-hamba-Nya didalam beribadah misalnya: dibolehkan bagi seseorang menggunakan debu untuk bertayamum ketika dirinya tidak menemui air untuk berwudhu atau memilikinya akan tetapi hanya cukup untuk minum saja, dibolehkan bagi seorang musafir (yang melakukan perjalanan jauh) menggabungkan (jama’) dua shalat, yaitu zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya serta dibolehkan baginya memotong jumlah rakaat shalat (qoshor) yang empat rakaat menjadi dua raka’at kecuali shubuh dan maghrib, dan dibolehkan bagi seorang yang sedang sakit payah untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan dan banyak lagi yang lainnya.
Termasuk diantara kemudahan syariat islam ini adalah dibolehkan bagi seseorang yang lupa tidak melaksanakan shalat untuk kemudian melaksanakannya ketika dirinya teringat dan juga dibolehkan bagi seseorang yang tertidur tidak melaksanakan shalat shubuh untuk kemudian melaksanakannya ketika dirinya terbangun walaupun waktu shubuh itu telah habis, berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang lupa (melaksanakan) shalat atau tertidur maka kafaratnya adalah melaksanakannya (shalat itu) ketika dia teringat.” (HR. Muslim)
Firman Allah swt :
فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

Artinya : “Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.” (QS. Thaha : 14)
Wallahu A’lam

Sumber : http://eramuslim.com/ustadz-menjawab/tidak-mendengar-adzan-subuh.htm